Selasa, 10 Agustus 2010

tukang becak

Baru pulang. Dan tiba-tiba tadi di jalan pulang, teringat bapak tua tukang becak. Ini ritual umum yang saya lakukan (naik becak) karena menuju kompleks rumah saya itu 'kalau-jalan-kaki-bisa-patah-di-tengah-jalan'. Jauh sekali. Nah, ngomong-ngomong tentang tukang becak... Saya ingat bahwa ada satu bapak tua usia lebih kurang 65 tahun, tukang becak tentunya, kalau dihitung-hitung, saya sudah tidak pernah melihatnya lagi. Saya juga kurang pasti sudah berapa lama.
Banyak sih di pikiran saya. Mungkin beliau sudah meninggal dunia, atau mungkin pulang ke kampung, atau apa ya...
Dan kenapa harus dia.

Beberapa tahun yang lalu, bulan puasa. Saya selalu memperhatikan si bapak semenjak pertama kemunculannya di area tempat tinggal saya. Karena tidak sulit. Beliau sudah kelihatan sangat tua, badannya kecil dengan kulit hitam terbakar matahari, dan karena bentuk becaknya yang berbeda dari bentuk becak asli kota tangerang. Dan saya yakin, cuma beliau yang punya becak model begitu. Entah ya asalnya dari daerah jawa mana tapi yang pasti kepunyaannya adalah yang paling unik.
Saya sampai hapal seluruh kegiatannya, secara sengaja ataupun tidak, saya selalu memperhatikannya.
Beliau itu tidak punya rumah. Setiap malam ia 'parkirkan' becaknya di depan mini market yang sudah tutup dan tidur dengan posisi lazimnya di dalam becak, pakai sarung. Dan oh iya, di becaknya selalu ada radio tua dan kresek hitam yang (saya yakin!) isinya pasti pakaian ganti.
Padahal, seumur-umur beliau di sini, saya tidak sekalipun menumpang di becaknya. Karena memang kita tidak pernah bertemu sebagai 'penumpang dan penarik becak'.

Oke, kembali ke beberapa tahun lalu. Saya, dengan segala apa yang ada di hati, membelikan makanan dan minuman untuknya sebagai pangan berbuka puasa. Karena saya merasa sangat yakin di mana ia saat itu, saya segera mendatangi tempatnya tetapi tidak ada apapun. Saya keliling kompleks mengendarai sepeda motor dan akhirnya menemukan sosok tua renta itu!
Saya hanya menghampiri dan menyodorkan apa yang sudah saya beli sambil berkata 'Pak, ini buat buka puasa. Dimakan ya...'.
Saya tidak peduli dan meninggalkannya yang kebingungan.
Yang penting ia makan.

Karena sebenarnya saya terpukul. Betapa bisa saya kecewa sekali dengan hidup. Maksud saya, kenapa tidak pernah adil. Dan saya memang naif untuk masalah seperti itu.
Beliau itu ya sudah tua, tapi kok ya masih saja toh mengayuh pedal becaknya. Berani bertaruh, hal itu pasti sangat berat.
Saya pulang dan menangis. Betapa naif. Tapi toh saya tidak peduli.
Saya hanya mau mereka tahu ada orang lain yang masih peduli.

Saya dan para tukang becak.

Betapa akhir-akhir ini saya selalu pulang larut. Betapa jika ada wanita pulang larut malam, pasti abang-abang sialan di pinggir jalan pasti iseng siul-siul dan menggoda-goda.
Tapi lagi-lagi. Saya harus menumpang becak.
Dan... Betapa setiap bapak tukang becak yang becaknya saya tumpangi itu, membesarkan hati saya dengan pertanyaan-pertanyaan macam 'Mbak, pulangnya malam banget. Kemarin pulang jam berapa?' atau 'Kelihatannya capek sekali. Kuliah toh, Mbak?'.
Karena apa... Hanya mereka yang bisa mengerti. Dan bukan... Bukan karena saya kadang memberi uang lebih. Tapi intensi baik mereka yang kalau digambarkan seperti 'Kasihan pulang malam plus letih sekali'.
Hanya mereka yang masih bisa melihat : saya ini wanita baik-baik yang memang punya keperluan sehingga harus pulang malam sekali.
Apapun itu...

Banyak harapan dan doa untuk mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar