Jumat, 25 Februari 2011

I just met a man. Dia punya segalanya. Rasanya kami akan bertemu dan sedikit memadu kasih. Ya, mungkin juga karena saya sedikit merindukan rasa kasih dari lawan jenis.
Saya senang. Kami bertengkar, kami berbaikkan.
Saya tidak pernah berharap banyak sih, tapi rasanya seru campur aduk seperti itu.

Ini point-nya.
Kami sempat bertengkar di mana saya berniat benar-benar 'meninggalkan'nya dengan hal terburuk yang saya miliki. Defensif-isme saya.
Saya sudah siap. Bagaimana tidak?
Setahun yang lalu, hanya dengan sedikit sifat arogan, 'dia' pun pergi. Untuk selamanya.
At least, saya sudah kebal terhadap rasa 'ditinggalkan' dan dibuang jauh.
Mau kaya atau kaya, saya hanya mau pride saya yang menang.
Saya belajar banyak tentang pride.

Percaya tidak? Saya pernah berhenti berhubungan, padahal saya tahu saya yang salah, dan mencoba meminta maaf.
Itu normal.
Tapi... Saya tidak pernah mencoba menghubungi-nya untuk memohon, atau mencoba mencari atensi langsung yang mana menurut saya sih agak tidak 'punya harga diri'.
Ya, saya juga pernah melakukan itu, tapi dulu. Jauh sebelum saya tahu apa arti sebuah hubungan yang dewasa.
Bisa bayangkan bagaimana besarnya cinta (saya berani menyebutnya demikian) saya pada saat itu dan saya bisa benar-benar menahan diri untuk melakukan hal yang bisa mempermalukan diri ini.
Sampai detik ini, saya pun masih belum percaya.

Jadi ya, yang saya cinta saja bisa koq direlakan pergi jauh ke neraka. Apalagi yang sama sekali gak ada perasaan...

Well, gold nite.

Minggu, 20 Februari 2011

Huah! Saya tidak suka kamar baru saya. Oke, lebih tepatnya kamar bekas almarhum nenek dan kakek saya yang lebih kurang sudah meninggal 3 atau 4 tahun lalu. Saya tidak suka ruangannya, kamar mandinya, lemarinya, lantainya, dan yang paling mengganggu adalah bau khas kamar mereka yang tidak juga hilang dimakan waktu.
Baunya aneh. Saya tidak tahan. Ditambah dengan aroma pewangi ruangan dan aromaterapi yang memperparah kondisi ruangan.
Saya tidak bisa, hidung saya tidak mau berkompromi. Saya tidak suka baunya, demi tuhan.
Saya benci. Saya mau kamar saya yang dulu, dengan segala fasilitasnya yang tidak bisa dibilang fancy. Tapi saya mau kamar saya yang selalu membuat hidung saya menerima oksigen dengan benar.
Dan alhasil, saya kembali pada kamar saya.

Rabu, 16 Februari 2011

apa

Hey, kita bertemu lagi.
Saya baru bangun dari tidur siang sampai setengah tujuh tadi dan perasaan saya langsung berubah, sampai sekarang.
Terjadi ketika saya membuka bbm, ada beberapa yang masuk. Tapi... Saya juga tidak mengerti. Saya bermimpi tentangnya.
Padahal, saya benci sekali sama yang namanya mimpi. Mimpi indah ataupun buruk akan menjadi masalah untuk saya.
Contohnya ya seperti sekarang ini.
Saya bermimpi dia datang...
Lalu saya buka bbm-nya.

'Good night, My Bumblebee. I miss you. *hugs* *angel* *heart*.'

Dan baru beberapa menit yang lalu saya membalasnya.

'Morning, babe. I dream of you. I miss you.'

Saya ragu. Saya mau mengkerut di ranjang, menarik selimut lagi. Tapi hati ini belum juga membaik.
Saya harus apa ya sekarang ini, agar kembali seperti semula...
Sebenarnya saya masih lelah. Masih ingin tidur. Tapi ada beberapa hal yang harus dilakukan.
Saya sedang tidak ingin sendiri.

Sabtu, 12 Februari 2011

,,,,

Sayang...
Kalau ibumu tak bisa cinta kamu, maka mari kita berpikir bahwa ia teramat butuh.
Kalau kamu tidak tega melihat ayah yang selalu diam menahan panas di hati, mari kita bungkam waktu.
Sayang...
Habiskan air matamu. Pastikan kamu melepas semua kekosongan dan hampa yang melanda.
Habiskan waktu, sudahlah kita lebih dengan pergumulan jiwa.
Sayang...
Ada aku di sini. Kalaupun bisa, kamu sudah ku ajak pergi. Sedari kau lahir.
Tapi ternyata masa lalu masih butuh kompromi.
Cob sedikit negosiasi, kita berdamai dengan bumi.
Yang lelah menangis untuk kamu...
Untuk kamu...

untuk kamu, intan indah...
Masih tak habis pikir akan ulah manusia-manusia yang mengatasnamakan 'teman' seperti mereka.
Ketika saya berkata saya mau 'A', pasti ada satu di antara mereka bilang 'B'. Coba saya pikir dulu. Ini pilihan saya yang selalu tak tepat atau memang saya mudah dikelabui.
Ah, pening sekali memikirkannya.

Rabu, 09 Februari 2011

Bapak Yang Terhormat...

Saya cukup menemukan bukti dimana terlalu banyak hal yang menyimpang yang telah terjadi di negara ini. Betapa hati saya rusak, hati saya patah melihat banyaknya tayangan di gedung DPR ataupun di jalanan sana. Saya masih belum bisa menemukan kata-kata yang lebih pas dibanding 'patah', 'hancur', dan 'rusak' untuk hati ini. Saya merasa tidak bisa berbicara kepada orang lain lagi. Saya tidak tahu harus lari ke mana.
Dan saya tidak tahu siapa yang akan 'membangun negara di dalam negara', karena pikiran saya terlalu penuh dijejali berita pengalihan kasus tak berujung. Terlalu banyak nama di kepala saya.

Bapak...
Saya tahu bahwa saya tidak salah kalau setiap kali melihat para gelandangan, saya pasti menangis.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah kalau saya tetap menaati peraturan lalu lintas disaat manusia-manusia lain melanggarnya.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah setiap mendengar nama FPI, maka saya akan meradang.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah jika mengutuk kemacetan setiap hari karena tidak adanya ketegasan dari aparat.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah ketika saya marah kepada birokrasi dan kaumnya, birokrat.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah ketika kekecewaan saya bertambah karena kebodohan petinggi negara terlihat jelas di layar televisi, dan saya hanya bisa diam, padahal sesungguhnya saya tahu.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah saat....

Saya tahu bahwa saya tidak salah saat saya sadar, bahwa saya berhenti mencintai negeri ini.

Saya mendalami, terlalu banyak kutukan untuk kami.

Saya hanya belum siap untuk kembali...

Sekian.

Hormat saya, untuk anda, Tuhan-nya Indonesia,
V

Bapak Yang Terhormat...

Saya cukup menemukan bukti dimana terlalu banyak hal yang menyimpang yang telah terjadi di negara ini. Betapa hati saya rusak, hati saya patah melihat banyaknya tayangan di gedung DPR ataupun di jalanan sana. Saya masih belum bisa menemukan kata-kata yang lebih pas dibanding 'patah', 'hancur', dan 'rusak' untuk hati ini. Saya merasa tidak bisa berbicara kepada orang lain lagi. Saya tidak tahu harus lari ke mana.
Dan saya tidak tahu siapa yang akan 'membangun negara di dalam negara', karena pikiran saya terlalu penuh dijejali berita pengalihan kasus tak berujung. Terlalu banyak nama di kepala saya.

Bapak...
Saya tahu bahwa saya tidak salah kalau setiap kali melihat para gelandangan, saya pasti menangis.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah kalau saya tetap menaati peraturan lalu lintas disaat manusia-manusia lain melanggarnya.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah setiap mendengar nama FPI, maka saya akan meradang.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah jika mengutuk kemacetan setiap hari karena tidak adanya ketegasan dari aparat.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah ketika saya marah kepada birokrasi dan kaumnya, birokrat.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah ketika kekecewaan saya bertambah karena kebodohan petinggi negara terlihat jelas di layar televisi, dan saya hanya bisa diam, padahal sesungguhnya saya tahu.
Saya tidak salah.

Saya tahu bahwa saya tidak salah saat....

Saya tahu bahwa saya tidak salah saat saya sadar, bahwa saya berhenti mencintai negeri ini.

Saya mendalami, terlalu banyak kutukan untuk kami.

Saya hanya belum siap untuk kembali...

Sekian.

Hormat saya, untuk Tuhan-nya Indonesia,
V

Minggu, 06 Februari 2011

Malam yang hampir sama dengan malam-malam yang lainnya. Hati saya masih kosong. Beku. Saya belum bisa merasakan sentuhan rasa. Saya masih belum bisa mencium aroma cinta.
Tapi ini aneh, beberapa kali saya mati dan hidup lagi hanya demi sebuah ciuman.
Mencium atau dicium selalu sukses membuat saya bersemangat. Untuk memulai sampai diwaktu yang akhir.

Saya rindu berciuman. Yang panjang, berpagutan di dalam sepi, saling melepaskan diri.
Saya ingin berciuman. Tanpa jeda, dengan lembut, ditambah sedikit keahlian yang diselip ke dalam dirinya.
Ah, saya hampir mati.

Saya butuh ciuman. Untuk memacu jantung saya kembali bekerja.